Fikh Nafkah: Apakah Kita Wajib Menafkahi Kerabat?
Dalam realitas sosial, selalu ada anggota keluarga yang lebih mampu secara
finansial dibanding lainnya. Hal ini seringkali menimbulkan kecemburuan antar
kerabat dikarenakan sang kerabat kaya enggan berbagi dengan kerabat lainnya
yang sedang membutuhkan.
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit orang yang bingung membedakan
antara sedekah dan nafkah. Ada yang semangat memberi kepada orang lain, tetapi lupa
dengan keluarga sendiri. Islam sudah menjelaskan keduanya secara gamblang: mana
yang wajib ditunaikan, dan mana yang hukumnya sunnah. Tanpa ilmu, seseorang
bisa salah prioritas. Berikut penjelasan praktis dari Al-Qur’an, hadis, dan
pandangan ulama mengenai kewajiban nafkah kepada kerabat.
Fiqh nafkah kepada kerabat
Para ulama menyebutkan ada tiga sebab utama yang mewajibkan seseorang memberikan nafkah:
1. Az-Zaujiyyah (hubungan pernikahan)
Suami wajib memberi nafkah kepada istri, karena sifatnya adalah transaksi timbal balik, suami punya hak terhadap istri dan istri juga punya hak terhadap suami. Sehingga kewajiban nafkah ini tidak akan pernah gugur walaupun suami dalam kondisi miskin, bahkan jika ia lalai, maka nafkah menjadi hutang yang harus dibayar.
2. Al-Qarabah (hubungan kekerabatan)
Nafkah karena adanya hubungan kekerabatan bersifat tolong-menolong, seperti
orang tua dan anak, kakek dan cucu, antar saudara, dan semisalnya. Sehingga
kewajibannya tidaklah mutlak, melainkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
sang pemberi nafkah.
3. Al-Milk (hubungan kepemilikan)
Seperti pemilik kepada budaknya.
Dari tiga sebab ini, nafkah karena hubungan kerabat menimbulkan
perbedaan pendapat di kalangan ulama, karena lingkup kerabatnya luas. Kerabat
dibagi menjadi tiga macam:
1. Al-Usul meliputi: orang tua, kakek, nenek, dan
seterusnya.
2. Al-Furu‘ meliputi: anak,
cucu, cicit, dan seterusnya.
3. Al-Hawasyi (saudara) meliputi: saudara kandung, saudara orang tua, sepupu, keponakan dan
semisalnya.
Nafkah untuk kerabat meliputi kewajiban seorang muslim untuk menanggung
kebutuhan hidup kerabatnya (makanan, pakaian, tempat tinggal, kebutuhan pokok)
dengan syarat tertentu.
Ulama menegaskan bahwa nafkah kerabat itu wajib apabila terpenuhi
dua kondisi pokok:
1. Pemberi dalam kondisi mampu
Memiliki kelebihan harta setelah mencukupi kebutuhan dirinya, istrinya, dan
orang-orang yang berada dalam tanggungannya. Harta yang dimaksud adalah harta
yang mengalir (hasil usaha, gaji, keuntungan), bukan modal pokok seperti
rumah atau alat kerja.
2. Penerima dalam keadaan butuh/fakir
Tidak mampu mencukupi kebutuhannya, atau meski punya harta, tidak mencukupi
kebutuhan dasar hariannya.
Jadi, nafkah kerabat tidak otomatis wajib secara mutlak, tetapi bergantung
pada kondisi orang yang memberi dan yang diberi. Berbeda dengan nafkah kepada
istri: nafkah istri tetap wajib meski suami miskin, karena sifatnya mu‘awadhah
(transaksi timbal balik). Sedangkan nafkah kerabat sifatnya ta‘awun
(tolong-menolong).
Dalil kewajiban nafkah kepada kerabat
Perintah berbuat baik kepada orang tua, Allah ﷻ berfirman,
وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ
اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ.
“ Tuhanmu
telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat
baik kepada ibu bapak.’” (QS Al-Isra: 23).
Allah ﷻ juga berfirman,
وَاٰتِ ذَا الْقُرْبٰى حَقَّهُ ۗ
“ Berikanlah kepada kerabat dekat haknya.’” (QS Al-Isra: 26).
Allah ﷻ juga berfirman,
وَأُولُواٱلْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ
“ Orang-orang
yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah” (QS Al-Anfal: 75).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ:
وَدِينَارٌ
أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ. أَعْظَمُهَا أَجْرًا للذي أنفقته على أهلك
dinar yang yang
kamu infakkan untuk keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah dinar yang
kamu infakkan kepada keluargamu.” (HR Muslim, no. 995)
Dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah ﷺ:
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ
فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ
أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ
“ Mulailah
dari dirimu dan bersedekahlah atasnya, jika terdapat kelebihan maka berikanlah
pada keluargamu, jika terdapat kelebihan maka berikanlah pada kaum
kerabatmu.” (HR Muslim, no. 997)
Perbedaan pendapat di kalangan para ulama
Dalam masalah nafkah kerabat, para ulama sepakat bahwa nafkah orang tua dan
anak hukumnya wajib. Adapun selain itu, hanya Imam Malik yang membatasi
kewajiban nafkah sebatas pada orang tua dan anak saja, sehingga tidak mencakup
kakek, nenek, cucu, atau kerabat lainnya. Sedangkan tiga mazhab lainnya (Imam
Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali) sama-sama mewajibkan nafkah kepada
kerabat selain orang tua dan anak, hanya saja berbeda dalam luas cakupannya;
Hanafi lebih umum mencakup semua kerabat mahram, Syafi’i membatasinya pada
garis atas-bawah, sementara Hanbali mensyaratkan adanya hubungan waris. (Lihat
kitab Al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba‘ah. juz 4, hal. 514-518, “Bab fī
al-Nafaqah ‘ala al-Aba’ wa al-Aqarib”)
Ibn Qayyim menegaskan bahwa nafkah kerabat bukan hanya berdasar warisan,
tapi juga berdasar rahim (kekerabatan). Ia menilai pendapat Abu Hanifah lebih
kuat karena sesuai dengan perintah silaturahim dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Ibn
Taymiyyah dan Ibn ‘Utsaimin juga menegaskan: setiap kerabat rahim yang fakir
berhak mendapat nafkah dari kerabatnya yang mampu.
Kesimpulan
Kewajiban nafkah kerabat berlaku jika pemberi memiliki kemampuan dan penerima berada dalam kondisi membutuhkan. Para ulama bersepakat bahwa nafkah kepada orang tua dan anak tidak boleh ditinggalkan, namun mereka berbeda pandangan terkait kakek, nenek, cucu, dan kerabat samping. Pendapat yang lebih kuat menegaskan bahwa setiap kerabat rahim yang fakir berhak mendapatkan nafkah dari kerabatnya yang mampu, meskipun tidak ada hubungan waris di antara keduanya.
Ditulis oleh
Tim Ilmiah SRB dan Lorong Faradisa.